Di hening yang Sunyi… ‘Sepi’
Monday ke-20 dari ketiadaanmu di awal pekanku..
Huffh…Sebuah kebodohan bahwa aku masih menyimpanmu di hati..
Tapi sebuah kesalahan pula bahwa aku harus melupakanmu begitu saja..
Seperti inikah cinta itu..?
Tlah berulang kali kucoba mengikhlaskanmu…
Berulang
kali hati kecilku mengatakan ‘tidak’
HATI KECILKU…? Benarkah hati kecil ku yang berkata?
Atau keinginan memilikilah yang menyebabkan ku tak pernah ridha?
Ah.. entahlah yang ku tahu…
Tak pernah lagi ku usik dirimu…
Aku mencoba menjauh, seperti apa yang kamu lakukan padaku..
Bukan.. bukan karena rasa sesalku atas sikap menjauhmu..
Namun ku sadari saat ini, menjauh itu adalah bahagiamu…
Maka tak ada yang bisa ku lakukan selain berdiam dalam bisuku…
Sayangnya…
Tak pernah ku sadari..
Rasa ini, sungguh sangat menoreh sakit di hatiku..
Mungkinkah memang cinta harusnya tak pernah meminta.. melainkan hanya memberi?
Memberi..memberi dan hanya memberi…?
Ah cintaa.. tak pernah ku fahamimu..*_*
Tak adakah defenisi tentangmu untukku..? huffh..
“Ya Rabb, Pemilik Cinta.. Dosaku kah? sedang tlah kucoba segala cara, agar
hapuskan tentangnya..
Tlah ku coba menutup mataku, telingaku.. segala tentangnya..
Namun Duhai, bahkan doaku serasa kelu ketika memohon agar hapus namanya di
hatiku..
adakah yang salah Rabb? Sedang dadaku semakin sesak mengenangnya, Perih.”
Teriring sebuah catatan CINTA..
-by.Anis Matta….
”Semoga Manfaat” untukmu, untuk mereka, untuknya, untukku dan untuk semua yang
inginkan defenisi CINTA dari ketiadaan defenisi itu sendiri..
CINTA TANPA DEFENISI
Cinta.
Seperti angin membadai. Kau tak melihatnya. Kau merasakannya. Merasakan
kerjanya saat memindahkan gunung pasir di tengah gurun. Atau merangsang amuk
gelombang di laut lepas. Atau meluluhlantakkan bangunan-bangunan angkuh di pusat
kota metropolitan. Begitulah cinta. Ia ditakdirkan jadi kata tanpa benda. Tak
terlihat. Hanya terasa. Tapi dahsyat.
Cinta.
Seperti banjir menderas menderas. Kau tak kuasa mencegahnya. Kau hanya bisa
menganga ketika ia meluapi sungai-sungai, menjamah seluruh permukaan bumi,
menyeret semua benda angkuh yang bertahan di hadapannya. Dalam sekejap ia
menguasai bumi dan merengkuhnya dalam kelembutanya. Setelah itu ia kembali
tenang. Seperti seekor harimau kenyang yang terlelap tenang. Demikianlah cinta.
Ia ditakdirkan jadi makna paling santun yang menympan kekuasaan besar
Cinta.
Seperti api menyala-nyala. Kau tak kuat melawannya. Kau hanya bisa menari di
sekitarnya saat ia mengunggun. Atau berteduh saat matahari membakar kulit bumi
. atau meraung saat lidahnya melahap rumah-rumah, kota-kota, hutan-hutan. Dan
seketika semua menjadi abu. Semua jadi tiada. Seperti itulah cinta. Ia
ditakdirkan jadi kekuatan angkara murka yang mengawal dan melindungi kebaikan.
Cinta
adalah kata tanpa benda, nama untuk beragam perasaan, muara bagi ribuan makna,
wakil dari sebuah kekuatan tak terkira. Ia jelas sejelas matahari.
Mungkin
sebab itulah Eric Fromm dalam “The Art of Loving” tidak tertarik atau juga
tidak snggup mendefenisikannya. Atau memang cinta sendiri yang tidak perlu di defenisikan
bagi dirinya?.
Tapi
juga terlalu rumit untuk disederhanakan. Tidak ada defenisi memang! Dalam
agama, atau filsafat atau sastra atau psikologi. Tapi inilah obrolan manusia
sepanjang masa. Inilah legenda yang tidak pernah selesai .
Maka
abadilah Rabiah Al-Adawiyah, Rumi, Iqbal, Tagore atu Gibran karena puisi atau
prosa cinta mereka. Abadilah legenda Rome dan Juliet, Laila Majnun, St Nurbaya
atau Cindirella. Abadilah Taj Mahal karena kisah cinta dibalik kemegahannya.
Cinta
adalah lukisan abadi dalam kanvas kesadaran manusia. Lukisan bukan defenisi. Ia
disentuh sebagai suatu situasi manusiawi, dengan detil-detil nuansa yang begitu
rumit. Tapi dengan pengaruh yang terlalu dahsyat. Cinta merajut semua emosi
manusia dalam berbagai kehidupannya menjadi sublime; begitu agung tapi juga
terlalu rumit. Perang berubah menjadi panorama kemanusiaan begitu cinta
menyentuh para pelakunya. Revolusi tidak dikenang karena geloranya tapi karena
cinta yang melahirkannya. Kekuasaan tampak lembut saat cinta masuk wilayah-wilayahnya.
bahkan penderitaannya akibat kekecewaan kadang terasa manis karena cinta yang
melatarinya: seperti Gibran yang kadang terasa menikmati Sayap-sayap Patah-Nya.
Kerumitan
terletak pada antagoni-antagoninya. Tapi di situ puladaya tariknya tersembunyi.
Kerumitan tersebar pada detil-detil nuansa emosinya, berpadu atau berbeda. Tapi
pesonanya menyebar pada kerja dan pengaruhnya yang teramat dahsyat dalam
kehidupan manusia.
Seperti
ketika kita menyaksikan gemuruh badai, luapan banjir atau nyala api, seperti
itulah cinta bekerja dalam kehidupan kita. Semua sifat dan cara kerja udara,
api dan air juga terdapat dalam sifat dan cara kerja cinta. Kuat. Dahsyat.
Lembut. Tak terlihat. Penuh haru biru. Padat makna. Sarat gairah. Dan
antagonis.
Barangkali
kita memang tidak perlu defenisi. Toh kita juga tidak butuh penjelasan untuk
dapat merasakan terik matahari. Kita hanya perlu tahu cara kerjanya. Cara
kerjanya itulah defenisinya; karena –kemudian- semua keajaiban terjawab di sana.
Sahabat tak pernah ku menyesal bahwa ku pernah jatuh
cinta..
Penyesalanku adalah bahwa aku tak mengikhlaskannya bahagia dengan pilihannya..
Namun saat ini tlah ku coba belajar melerai luka ini dengan keikhlasan..
karena saat ini…
kuingin..
CINTA itu BUKAN bagaimana aku DICINTAI tapi bagaimana aku MENCINTAI…
Ah Cinta.. Saat ini, bisakah engkau mendefenisi untukku..?
Sebab ku tak ingin menjadi si Laila Majnun kedua.. *ada-ada aza.. ya gak lah!
;p
Salam Cinta
-Amelia Senja-